Tak Makan Buahnya, Helmi Hasan Kena Getahnya
Ibarat pepatah, tak makan buahnya tapi kena getahnya. Itulah yang dialami Gubernur baru Bengkulu Helmi Hasan terkait opsen pajak dan tingginya pajak kendaraan di Provinsi Bengkulu hingga ia diserang habis-habisan […]

Ibarat pepatah, tak makan buahnya tapi kena getahnya. Itulah yang dialami Gubernur baru Bengkulu Helmi Hasan terkait opsen pajak dan tingginya pajak kendaraan di Provinsi Bengkulu hingga ia diserang habis-habisan oleh warganet Bengkulu.
Pasalnya, opsen sendiri merupakan kebijakan pemerintah pusat yang mulai diberlakukan 5 Januari 2025 sebesar 66 persen.
Sedangkan, penyebab pajak di Bengkulu tertinggi di Indonesia diakibatkan oleh Peraturan Daerah (Perda) nomor 7 tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan produk dari pemerintahan lama, tapi Helmi yang tertuduh dan dibully.
Terkait opsen pajak, menurut Kepala Badan Pendapatan Daerah Provinsi Bengkulu Hadianto, kenaikan pajak 66 persen sesuai dengan Peraturan Daerah yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten/Kota. Kemudian berdasarkan amanat Undang-undang nomor 1 tahun 2022, tarif pajak PKB sebesar 1,2 persen dan BPNKB 12 persen.
“Pada saat ini memang banyak di masyarakat terkait dengan opsen 66 persen. Kita sampaikan bahwa terkait dengan opsen pajak ini, berdasarkan Perda nomor 7 tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah kita tertinggi di Indonesia,” kata Hadianto, Jumat (16/5/2025).
Karena, lanjut Hadianto, tarif PKB berdasarkan Perda 1,2 persen yang nilainya tertinggi begitu juga tarif BPNKB tertinggi 12 persen.
“Itu yang menyebabkan ada kenaikan. Jadi opses yang dilakukan pembagian untuk Kabupaten/Kota saat ini sudah sesuai amanat Undang-undang juga. Karena pada saat pemerintahan Gubernur Helmi Hasan kita menerima peninggalan dari Gubernur lama karena Perda disahkan tahun 2023,” ungkap Hadianto.
Hadianto menjelaskan, Perda nomor 7 tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memang tertinggi karena terdapat selisih. Sehingga akibat Perda tersebut, kenaikan pajak di Bengkulu mencapai 24 persen sampai 33 persen, tergantung jenis kendaraan.
“Berdasarkan Perda kita tertinggi. Seharusnya kita pengurangan ditarif harga. Kalau untuk perhitungan opsen sendiri, kita tarif 1,2 persen kemudian dikali nilai jual kendaraan misalnya Rp 200 juta. Nilai kendaraan dikali bobot 105. Nah 105 ini masuk ke pajak Provinsi kemudian dikali tarif. Nah tarif yang kita terima dikali 66 opsen pajak, itulah yang diterima Kabupaten/Kota,” ungkap Hadianto. (MEN)